Sabtu, 10 Maret 2012

Faktor-Faktor Euthanasia


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemberlakuan Euthanasia
1.      Rasa sakit yang tidak tertahankan
     - Pro :
   Melihat salah satu anggota keluarganya menderita penyakit ganas yang tidak kunjung sembuh merupakan kepedihan. Mereka tidak tega melihat pasien tersebut tersiksa dengan rasa sakitnya. Oleh karena itu, mereka menyetujui untuk melakukan euthanasia.
- Kontra :
Rasa sakit yang tidak tertahankan bukanlah suatu alasan bagi seseorang 
    untuk memutuskan mengakhiri hidupnya. Kita boleh menghindari dari rasa sakit itu, tetapi tidak berarti kita dapat menghalalkan segala cara. Memutuskan untuk mati bukanlah cara yang tepat. Allah yang berhak untuk memutuskan kehidupan dan kematian seseorang. Melalui situasi ini, seseorang pun dapat mengambil suatu pembelajaran. Kondisi tersebut membuat iman kita teruji, hubungan kita dengan Allah akan semakin dekat, kita pun juga akan menjadi bergantung dan menyerahkan segala kehidupan kita kepadaNya. Allah pasti memiliki rencana yang indah bagi semua orang.
2.      Manusia memiliki hak untuk mati secara bermartabat
      - Pro :
   Manusia telah menjalani proses kehidupan yang begitu panjang dan begitu banyak pengalaman. Manusia melalui jalan kehidupannya karena pilihannya sendiri di awal kehidupannya sehingga manusia pula yang akan memilih jalan kehidupannya untuk mengakhiri hidupnya. Merupakan hak manusia untuk memilih tetap hidup atau mengakhiri kehidupannya dengan damai, tanpa rasa sakit.
 - Kontra :
  Banyak orang berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak asasi manusia, yaitu “hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination). Menurut masyarakat, manusia memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri untuk tetap hidup atau mati dengan tenang. Penolakan atas hak untuk mati dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang wajib dijunjung dan dihormati. Pandangan ini merupakan pandangan yang salah. Memang manusia diberi hak untuk menentukan diri sendiri, tetapi bukan untuk menentukan kapan kehidupannya berakhir. Manusia diberikan hak untuk menentukan prinsip hidupnya, menentukan tujuan hidupnya tanpa hasutan dari orang lain, menentukan sikap dan tingkah lakunya sendiri, tetapi bukan menentukan kematiannya. Hidup atau mati merupakan kedaulatan Allah. Allah adalah pencipta dan pemilik segala sesuatu (Kejadian 1:1, Mazmur 24:1), termasuk manusia yang diciptakan menurut gambar-Nya (Kejadian 1:27). Allah yang memberikan kita nafas dan hidup, maka Allahlah yang berhak mencabutnya. Jika kita melakukan euthanasia, maka sama saja kita mendahului kehendak Allah. Kita adalah manusia, bukan Allah.
3.      Ketidakmampuan dalam pembiayaan pengobatan
- Pro :
     Biaya pengobatan tidak tergolong murah, apalagi jika pasien menderita 
    penyakit parah dan harus rawat inap di rumah sakit. Karena dana tidak cukup untuk menutup semua biaya,akhirnya pasien memutuskan untuk melakukan euthanasia.
- Kontra : 
   Kita harus dapat membedakan antara ketidakmampuan dengan ketidakmauan untuk membiayai pengobatan.Ketidakmauan untuk membiayai pengobatan secara tidak langsung tergolong sebagai tindakan membunuh dan merupakan tindakan dosa. Maksudnya, seseorang sadar bahwa ia mampu membiayai pengobatan salah satu anggota keluarganya (walaupun tidak dalam jumlah besar), tetapi ia tidak melakukannya dan membiarkannya. Hal ini menandakan bahwa orang tersebut terlalu materialistik (terlalu cinta uang, gila harta) hingga   menghiraukan nyawa seseorang. Ingatlah bahwa nyawa seseorang lebih berharga daripada harta yang kita miliki. Kita tidak dapat membayar nyawa dengan uang atau dengan apa pun juga. Jika seseorang membiayai seluruh pengobatan yang dijalani oleh salah satu anggota keluarganya, tetapi suatu ketika uang yang dimilikinya habis sehingga ia memberhentikan  pengobatan medis dan memutuskan untuk merawatnya sendiri di rumah merupakan tindakan yang tidak tergolong dosa. Orang tersebut sadar bahwa ia mampu dan ia memberikan yang terbaik untuk kesehatan salah satu anggota keluarganya tersebut. Ia tidak mementingkan dirinya sendiri, tetapi rela berkorban untuk kebahagiaan orang lain. Yang terpenting ialah ia sadar dan berusaha semaksimal mungkin demi kepentingan orang lain, bukan harta. 
4.      Keadaan seseorang yang tidak berbeda dengan orang mati
- Pro :
   Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dr. James Dubois dari Universitas SaintLouis dan Tracy Schmidt dari Intermountain Donor Service, sekitar 84% dari seluruh warga Amerika setuju dengan pendapat bahwa seseorang dapat dikatakan mati apabila yang membuatnya tetap bernafas adalah obat-obatan dan mesin medis. Hal ini menjadi alasan beberapa orang untuk melakukan euthanasia. Mereka berpikir bahwa seseorang yang hanya bernafas karena bantuan mesin tersebut sudah tidak menunjukkan adanya suatu interaksi dengan orang lain atau respons dan secara kebetulan bisa bernafas karena kecanggihan dari penerapan teknologi saja sehingga tidak ada salahnya untuk melakukan euthanasia karena pada dasarnya orang tersebut sudah mati sehingga dengan kata lain kita tidak mencabut nyawa seseorang.
- Kontra :
  Sebenarnya walaupun seorang pasien tidak dapat berinteraksi (dalam  keadaan coma), orang tersebut tetap dikatakan hidup karena masih dapat bernafas, meskipun hanya karena bantuan dari mesin medis. Selama orang tersebut dapat bernafas dan jantungnya berdetak,orang tersebut dikatakan hidup. Jantung ini adalah organ yang memompa darah ke seluruh tubuh. Ketika jantung ini tidak berfungsi, darah tidak akan mengalir dan kondisi inilah yang disebut dengan kematian. Walaupun orang tersebut tidak lagi memberikan respon,jika orang tersebut masih dapat makan, minum, dan bernafas, maka ia tetap dikatakan hidup karena sumber energi kehidupan manusia berasal dari ketiga aktivitas tersebut. 

Jumat, 09 Maret 2012

Sejarah Euthanasia


Euthanasia mulai gempar dibicarakan pada tahun 1939an. Pada masa itu, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial, yaitu dengan memberlakukan euthanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tak berguna. Program pemberlakuan euthanasia ini dikenal dengan nama Aksi T4 (“Action T4″). Dalam pelaksanaan program ini, para ahli medis memberikan tanda (+) dengan pensil merah atau tanda (-) dengan pensil biru di setiap lembar kasus anak-anak tersebut. Tanda (+) merah berarti mereka memutuskan untuk membunuh anak tersebut, sedangkan tanda (-) biru berarti mereka memutuskan untuk membiarkan anak tersebut hidup. Jika tiga tanda (+) merah telah dikeluarkan, maka anak tersebut akan dikirim ke Departemen Khusus Anak di mana mereka akan menerima kematian dengan suntik mati atau dengan cara dibiarkan mati kelaparan.
Seiring dengan berjalannya waktu, program Nazi Euthanasia ini berkembang. Euthanasia tidak hanya ditujukan kepada anak di bawah umur 3 tahun yang mengalami keterbelakangan, tetapi juga ditujukan bagi lanjut usia serta anak-anak yang lebih tua. Putusan Hitler pada bulan Oktober 1939 menyatakan “pemberian hak untuk para ahli medis tertentu untuk memberikan euthanasia pada orang-orang yang tidak dapat disembuhkan lagi.” Putusan tersebut disebarkan ke seluruh rumah sakit dan tempat medis lainnya.
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan euthanasia, pada tahun 1940 dan 1950 dukungan terhadap euthanasia mulai berkurang, terlebih lagi terhadap tindakan euthanasia yang dilakukan secara tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.

Jenis-Jenis Euthanasia


Euthanasia terdiri dari beberapa jenis. Berdasarkan dari cara pelaksanaannya, euthanasia dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1.      Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh dokter atau tenaga kesehatan untuk mencabut atau mengakhiri hidup sang pasien, misalnya dengan memberikan obat-obat yang mematikan melalui suntikan, maupun tablet. Pada euthanasia aktif ini, pasien secara langsung meninggal setelah diberikan suntikan mati. Euthanasia aktif hanya diperbolehkan di Belanda, Belgia, dan Luxemburg.
2.      Euthanasia pasif
Euthanasia pasif dilakukan pada kondisi dimana seorang pasien secara tegas menolak untuk menerima perawatan medis. Pada kondisi ini, sang pasien sudah mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah “codicil”, yaitu pernyataan yang tertulis. Pada dasarnya eutanasia pasif adalah euthanasia yang dilakukan atas permintaan sang pasien itu sendiri. Euthanasia pasif ini dapat dilakukan melalui beberapa cara, misalnya dengan tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam bernapas, menolak untuk melakukan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, dan sebagainya. Tindakan yang dilakukan tidak membuat pasien langsung mati setelah diberhentikan asupan medisnya, tetapi secara perlahan-lahan.
Berdasarkan dari status pemberian izin, euthanasia dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Euthanasia secara tidak sukarela
Pelaksanaan euthanasia secara tidak sukarela ini didasarkan pada keputusan dari seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk mengambil suatu keputusan, misalnya wali dari si pasien. Namun di sisi lain, kondisi pasien sendiri tidak memungkinkan untuk memberikan ijin, misalnya pasien mengalami koma atau tidak sadar. Pada umumnya, pengambilan keputusan untuk melakukan euthanasia didasarkan pada ketidaktegaan seseorang melihat sang pasien kesakitan.
2.      Euthanasia secara sukarela
Euthanasia secara sukarela merupakan euthanasia yang dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri dalam keadaan sadar.


Definisi Euthanasia


Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang artinya indah, bagus, terhormat, dan thanatos yang berarti kematian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), euthanasia adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan piaraan) yang mengalami sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan sehingga dapat disimpulkan bahwa euthanasia adalah praktek pencabutan kehidupan manusia atau hewan melalui cara yang dianggap dapat meminimalkan rasa sakit, bahkan tanpa rasa sakit sekalipun.